• Sunday, July 20, 2008

    Surat Cintaku

    Hari ini hari ketiga Dania sebagai murid SMU. Hari-hari ‘perploncoan’, hari-hari para senior ‘bebas’ ngerjain anak baru. Apalagi anak-anak perempuan yang punya wajah tergolong cantik, putih dan ‘bening’ (begitu istilah yang didengar Dania dari teman-teman cowoknya), mereka tidak hanya akan langsung diserbu para senior cowok untuk sekedar minta nomor telepon, tapi juga akan diserbu senior-senior cewek yang merasa ‘keberadaan’ mereka terganggu, merasa tersaingi dengan datangnya wajah-wajah baru yang segar.

    Begitu lonceng tanda istirahat berbunyi, Ibu Zakiah, guru matematika, langsung keluar. Tapi, belum sempat para murid bernapas lega, para senior yang jadi panitia ‘plonco’ atau bahasa halusnya ‘orientasi siswa’ menyerbu masuk. Ada yang sok ja-im alias jaga image (terutama untuk senior cowok), ada yang ja-wib alias jaga wibawa, ada yang langsung teriak-teriak, bentak-bentak (berlaku untuk senior cewek). Siswa-siswa yang sempat gembira karena bisa istirahat, langsung mengkeret dan terdiam. Pasrah menunggu ‘kejutan’ apa lagi yang akan mereka dapat dari senior mereka. Dania sempat melirik ke arah senior cowok yang kelihatan paling cool, Kak Samudra (hmmm… nama aja menunjukkan ke-cool-annya). Kak Samudra bukan ketua OSIS, bukan ketua panitia, tapi dia memang salah satu anggota seksi acara, seksi yang paling heboh, paling kreatif, paling iseng dalam acara orientasi ini.

    “Heee… diem… semua… !!!!”
    “Apa lirik-lirik gue???” salah seorang senior cewek membentak siswa perempuan yang duduk di depan.
    Sementara si siswa perempuan itu, hanya bisa tertunduk, dan berkata – berbisik tepatnya, “Ma’af, Kak.”
    “Kak? Emang gue kakak loe?!” suara Kak Monika, senior cewek yang paling ‘tajam’ mulutnya.

    “Ada tugas baru untuk kalian.” Kali ini giliran Kak Samudra yang berbicara. Dengan suaranya yang tenang, tapi tegas, ia berhasil menyihir satu kelas. “Kali ini kalian harus membuat surat cinta untuk salah satu senior kalian…”

    Belum selesai Kak Samudra bicara, kelas mulai gaduh, “Haaaa… surat cinta???”

    Gubrak…

    Suara meja dipukul dengan keras oleh Kak Satrio, salah satu senior yang bertampang galak dan bertubuh besar, disusul dengan teriakan-teriakan yang saling bersahutan, “Bisa diem gak sihhhh????!!!!”

    “Kalian harus membuat surat cinta, dan kalian harus menyelipkan foto kalian bersama surat itu.” Kak Samudra melanjutkan.

    Kali ini keterkejutan Dania dan teman-temannya hanya berani ditunjukkan dengan mulut yang menganga, beberapa ada yang menundukkan kepala, entah karena malu, takut, bingung, atau malah mulai berpikir, “Siapa yang akan gue kirimin ya?”

    Malam harinya, Dania mulai sibuk, memikirkan siapa yang akan ia kirimi surat cinta. “Siapa ya?? Kak Samudra? Ah.. pasti banyak yang mengirimi dia, suratku pasti terlewat. Kak Satrio? Seram ah… aku takut.”

    Dania larut di depan meja belajarnya. Dagunya bertopang pada salah satu tangganya, tangga satunya lagi memegang pensil yang ia tepuk-tepukkan di kepalanya. Dari tadi ia sibuk meneliti buku kepanitiaan, mencari nama-nama yang kira-kira menarik hatinya, sambil mencoba mengingat-ingat seperti apa orangnya.

    “Kak Aryo? Gak ah.. sok cakep… meskipun emang cakep, sih.” Dania tersenyum geli sendiri.

    “Kak Ichsan? Cakep, sih… tapi terlalu pendiem, rada pemalu kaya’nya. Gak ah, ntar dia malah bingung.” Mengingat salah satu seniornya yang pendiam, berkacamata dan lebih sering jadi pengamat di dalam kelas.

    “A ha…!” Seolah ada lampu berpijar di atas kepalanya, Dania langsung duduk tegak, dan tersenyum-senyum sendiri. “Aku harus bikin surat yang unik, biar orang kenal aku, tapi gak keliatan kalo aku kecentilan.”

    Langsung ia mengambil kertas, dan mulai menulis surat dengan lancar. Sesekail ia berhenti, berpikir sejenak sebelum menulis lagi. Setelah selesai, dibaca lagi isi suratnya, lalu ia tersenyum puas. Lalu, ia mulai mencari foto untuk disertakan bersama surat itu.

    Keesokan harinya, di jam istirahat sore, senior-senior mulai masuk. Di tangan mereka, ada beberapa amplop yang sepertinya surat cinta dari para junior. Kali ini mereka masuk dengan diam, tidak ada bentakan-bentakan, membuat suasana malah lebih tegang.

    Tiba-tiba, suara cempreng Kak Monika terdengar. “Mana yang namanya Dania Ayudya?” tanya Kak Monika dengan garang.

    “Mampus gue!” bukannya mengangkat tangan, Dania malah menundukkan kepalanya.

    “Mana yang namanya Dania Ayudya?” tanya Kak Monika lagi. “Ayo… gue mulai gak sabaran. Apa perlu gue cocokin fotonya dengan tampang loe satu-satu? Tapi, enak aja, masa’ gue yang musti susah!”

    Dania masih diam. Beberapa temannya mulai menoleh ke arahnya, juga tidak sabaran, plus takut nanti mereka ikut kena getahnya kalau Dania bikin salah.

    “Ayoooo… mana nih…? Jangan jadi penakut, deh! Bikin surat cinta berani, tapi masa’ dipanggil aja, gak berani!” suara Kak Monika makin garang.

    Akhirnya, Dania memberanikan diri, ia berdiri, “Sssaaaya, Kak.”
    “Sini kamu!” Kak Monika memanggilnya.

    Teman-teman di belakangnya mulai kasak-kusuk, ada yang berbisik, “Jangan-jangan dia kirim surat ke pacarnya Kak Monika, makanya ngamuk tuh.”

    “Heeehhh… yang lain diem!! Apa kalian namanya Dania juga?” kali ini suara Kak Satrio terdengar.

    Otomatis semua diam. Pelan-pelan Dania jalan ke depan kelas, dengan kepala tertunduk. Berpuluh-puluh pasang mata mengikuti langkahnya. Ia masih tetap menunduk ketika sampai di depan kelas. Dania tidak lihat kalau Kak Monika sempat tersenyum kecil, bukan senyum sinis, tapi senyum geli.

    “Kamu mau bacain surat cinta kamu, gak?” kata Kak Monika.
    “Hah?” Dania tampak kaget.
    “Iya, kamu harus baca surat cinta ini. Di sini. Di depan kelas. Surat kamu, saya pilih untuk dipamerkan sebagai salah satu surat yang unik.” Kak Monika menekankan pada kata ‘unik’.
    “Hah?” Dania masih bengong-bengong.
    Suara Kak Satrio terdengar lagi, “Duhhh… tulatit banget sih.!”
    Sementara senior lain, termasuk Kak Ichsan dan Kak Samudra, diam memandang adegan itu. Kak Monika berkata lagi dengan tidak sabar, “Egggghhhh… apa perlu gue yang bacain?”
    Sebelum Dania sempat berkata “Jangan”, Kak Monika sudah mulai membacanya, “Dear Kak Monika…”

    Baru kalimat awal dibacakan oleh Kak Monika, seisi kelas mulai gaduh. Suara tawa terdengar membahana. Tak pelak lagi, para senior pun tersenyum.

    Dania hanya tertunduk… pasrah…

    “Kenapa kamu kirim surat cinta ke saya? Kamu ngerti ini surat cinta. Seharusnya dikirim ke cowok yang kamu suka dong…” Kak Monika bertanya dengan pandangan menyelidik, lalu melanjutkan, “Kamu baik-baik aja kan?”

    Beberapa anak mengerti arti ‘baik-baik’ saja itu, mulai tertawa perlahan.

    “Kemarin kita hanya dikasih tahu untuk bikin surat cinta. Gak ada penjelasan ke cewek atau cowok. Dan gak ada penjelasan, ini surat cinta untuk pacar, calon pacar atau gebetan,” Dania menjawab dengan polos.

    Dan ia melanjutkan, “Jadi saya pikir, gak salah kan kalo saya kirim surat cinta ke Kak Monika, sebagai tanda cinta saya ke seorang kakak?”

    No comments:

    Fashion

    Beauty

    Travel